Dosen di Indonesia diuji lagi. Pemerintah RI dalam hal ini adalah
Kementerian PAN dan RB (Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi
Birokrasi) berencana merilis peraturan baru tentang Jabatan Akademik
Dosen. Aturan ini menandaskan, dosen harus bergelar doktor (S-3) kalau
ingin naik jabatan menjadi Lektor Kepala. Langkah pun diambil dengan
cara melarang pengajuan jabatan ke Lektor Kepala selama periode Januari
hingga Maret 2013. Peraturan sebelumnya mensyaratkan jenjang pendidikan
dosen minimal S-2 (magister) dengan sejumlah syarat lain seperti angka
kum yang memenuhi jumlah dan distribusinya sesuai dengan peraturan yang
berlaku.
Blunder terhadap Pendidikan Tinggi
Ada sejumlah kejadian yang akan muncul apabila rancangan tersebut
disahkan dan diberlakukan pada tahun 2013 ini. Dengan asumsi jumlah
dosen di Indonesia 165.350 orang, yang bergelar doktor tak lebih dari 10
persen. Artinya, 90 persen lainnya masih bergelar S-1 dan S-2. Yang
bergelar S-2 ini, kira-kira 20% ada yang sudah berumur di atas 45 tahun,
bahkan 50 tahun. Namun tenaga dan perannya sebagai dosen dibutuhkan
oleh perguruan tinggi, khususnya di PTS, lebih khusus lagi adalah PTS
yang relatif kecil di daerah-daerah. Kalau dosen ini lantas dilarang
mengajukan kenaikan jabatan menjadi Lektor Kepala maka prodi tempatnya
mengabdi akan tutup suatu hari nanti karena tidak mampu lagi memenuhi
syarat akreditasi. Ujungnya, boleh jadi PT-nya juga gulung tikar. Yang
tersisa adalah PTN di seluruh Indonesia dan segelintir PTS di Jawa.
Dampak selanjutnya, kesempatan rakyat Indonesia yang dijamin UUD 1945
untuk menjadi cerdas dan terdidik apik, minimal S-1, berkurang bahkan
pupus, baik yang di kota-kota terutama yang kelas ekonomi menengah ke
bawah, apalagi yang di daerah-daerah. Jumlah sarjana berkurang karena
ada yang meninggal dan pada saat yang sama, produksinya pun berkurang
karena prodi-prodinya tutup lantaran tidak terakreditasi. Dampak ini
akan mulai terasa lima tahun dari sekarang, yaitu tahun 2018. Akankah
pemerintah berani mengambil tanggung jawab besar ini atas petaka yang
bakal terjadi lima tahun mendatang? Memang, tak mudah bagi dosen yang
menjabat di kementerian dan di Ditjen Dikti untuk "memahami" dan
"menyelami suasan hati" kondisi PTS karena mereka selama-lamanya
mengajar di PTN. Dengan tidur lelap pun calon mahasiswa akan
berduyun-duyun datang. Begitu juga projek penelitian dan projek dari
perusahaan swasta dan pemerintah daerah (APBD) terus menghampiri.
Oleh karena itu, di tengah gembar-gembor kesetaraan hak dan kewajiban
PTN dan PTS, dapat dipastikan, perguruan tinggi yang “mungkin” bisa
mempertahankan eksistensinya adalah PTN. Dengan kekuatan dana yang mapan
dan sejak dulu (zaman Orde Baru) banyak dosen yang bergelar S-3 karena
banyak menerima beasiswa yang digelontorkan ke PTN, niscaya PTN bisa
survive. Namun faktanya, daya tampung seluruh PTN jauh di bawah daya
tampung seluruh PTS. PTS-lah yang banyak menghasilkan sarjana untuk
menambah kekuatan pembangunan bangsa di seluruh Indonesia, terutama di
daerah-daerah. Tak bisa dimungkiri, sarjana lulusan PT di daerah ini
banyak yang berkiprah di daerahnya, mengelola dana APBN, APBD secara
langsung maupun tak langsung untuk pembangunan di daerahnya. Ada yang
bekerja sebagai PNS, banyak juga yang bekerja di swasta (bank, mall,
pabrik, konsultan, kontraktor), dan wirausaha.
Sudah dipahami oleh banyak kalangan, dosen adalah profesi khas, karena
ia mendidik anak bangsa menjadi sarjana, magister dan doktor. Mayoritas
anak bangsa ini masih bergelar S-1 dan sejak satu dekade terakhir ini
mulai banyak yang bergelar S-2, baik berprofesi sebagai dosen maupun
non-dosen. Tetapi sayang, di prodi-prodi tertentu di suatu PTS misalnya,
jumlah dosen yang bergelar S-2 nyaris nol. Rekrutmen dosen bergelar S-2
untuk prodi tertentu tidaklah mudah. Beragam cara termasuk iklan di
koran sudah ditempuh tetapi yang berminat menjadi dosen nyaris tidak
ada, apalagi kalau diembel-embeli dengan “bergelar magister” atau
“berpendidikan S-2 di bidang yang sesuai dengan prodinya”. Kalau yang
direkrut bergelar S-1, mereka pun kesulitan memperoleh dana untuk kuliah
di S-2 dan pada saat yang sama tidak bisa mengajukan diri untuk
memperoleh jabatan akademik.
Lantas, kalau dosennya terkendala, maka pengembangan prodi pun
tertatih-tatih. Potensi mahasiswa dan lulusan prodi berkurang, bahkan
berakhir pada status tidak diakreditasi. Makin banyak prodi di PTS yang
mengalami kondisi ini, makin banyak juga rakyat Indonesia yang tidak
berpeluang menjadi sarjana. Lantas, rasio sarjana terhadap jumlah
penduduk Indonesia menjadi jauh di bawah negara-negara "rendah" lainnya.
Ironisnya, meskipun ada "pelarangan", pemerintah seperti tutup-mata
atas pelaksanaan kelas jauh yang justru banyak dilakoni dan dibidani
oleh dosen di PTN. Dengan kata lain, pemerintah membuka jalan
"pembunuhan" senyap untuk PTS dan seolah-olah menjadi gagah sebagai the
silent killer PTS.
Opsi Solusi, Jalan Tengah
Dalam kesempatan diskusi dengan rekan-rekan dosen di kampus lain, muncul
sejumlah opsi solusi dengan tetap mengapresiasi maksud pemerintah lewat
rancangan peraturan menteri tersebut. Peraturan tentu selayaknya
disosialisasikan dulu sebelum diberlakukan efektif. Ada masa tenggang
seperti banyak peraturan lainnya, bahkan ada yang baru berlaku setelah
satu dekade seperti peraturan kewajiban berhelm bagi pengendara sepeda
motor. Tentu peraturan yang dimaksud ini tidak perlu selama itu. Tempo
tiga s.d empat tahun sejak tahun 2013 adalah rentang waktu yang cukup
bagi dosen untuk bersiap-siap menerima dan melaksanakan peraturan
tersebut. Khususnya adalah dosen yang sudah lebih dari lima, bahkan
sepuluh tahun belum bisa naik menjadi Lektor Kepala akibat berbagai hal
seperti perubahan format ajuan jabatan akademik dari tahun ke tahun dan
lama waktu tunggu ketika berkas harus diperbaiki lagi, ditambah lagi
dengan syarat lain yang akhirnya membuat frustrasi dosen. Belum lagi
masalah rotasi dan mutasi aparatur di Kopertis dan "kesigapan" layanan
aparatur bagian jabatan akademik di Kopertis.
Ditjen Dikti tentu punya data eksak tentang kondisi itu dan bisa
memperkirakan dampak buruknya yang bakal terjadi. "Ledakan" kemandegan
jabatan di Lektor akan menjadi bumerang bagi pendidikan tinggi di
Indonesia. Dosen tidak bisa berperan lebih luas dan lebih banyak untuk
mengembangkan ilmu dan teknologinya kepada mahasiswa sehingga ilmu dan
teknologi yang dimiliki mahasiswa pun makin dangkal. Sebab, dosen-dosen
ini tidak bisa bersaing untuk memenangi dana penelitian, syahdan dalam
lingkup di daerahnya. Ketimpangan kualitas dan strata jabatan akademik
menjadi makin renggang antara PTN dan PTS, antara kota besar dan kota
kecil, antara daerah Indonesia bagian barat dan timur. Kecuali, kalau
tujuan pemerintah adalah pengingkaran atas amanat konstitusi negara kita
dan mereduksi jumlah PTS sekaligus mengurangi jumlah lulusan perguruan
tinggi agar negara ini langsung "blas di kelas underdog".
Tentu ada lagi potensi buruk lainnya yang dapat terjadi pada masa yang
akan datang kalau rancangan peraturan menteri tersebut disahkan pada
tahun ini atau tiga-empat tahun mendatang. Keputusan yang tidak melihat
keseluruhan kondisi pendidikan tinggi dan kondisi dosen dari Sabang
sampai Merauke akan menjadi blunder pendidikan tinggi kita. Sejarah pun
akhirnya mencatat, blunder itu terjadi karena arogansi pelaksana dan
pengemban amanat di pemerintahan, baik di Kementerian PAN dan RB maupun
di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. “Kutukan” dan sumpah serapah
dari dosen akan deras meluncur untuk pembuat keputusan ini.
Demikianlah dan pembaca, khususnya dosen dipersilakan menuliskan
komentar hal-hal positif dan negatif jika rancangan peraturan tersebut
berlaku langsung pada tahun 2013 ini. Mudah-mudahan dapat dijadikan
masukan bagi pembuat peraturan tentang nasib dan masa depan pendidikan
tinggi kita yang muaranya adalah nasib dan masa depan bangsa Indonesia. *
Penulis Asli : Oleh Gede H. Cahyana
Sumber : www.airlimbahku.com
Menurut pendapat saya memang baik untuk meningktkan mutu pendidik (dosen) dalam akademik dalam hal ini syarat S-3 untuk mendapatkan jabatan akademik Lektor Kepala. Namun mengingat dalam kondisi dunia pendidikan belum mendukung maka sebaiknya Pemerintah lebih bijak untuk bisa mengeluarkan kebijakan ini. Solusi yang bisa diambil adalah kebijakan ini sebelum dibuat harus disosialisakan terlebih dahulu selama 10 tahun kemudian diharapkan adanya anggaran dari pemerintah untuk bisa menganggarkan biaya S-3 untuk dosen mengingat biaya pendidikan S-3 sangat mahal. Kemudian mengadakan pengawasan dalam penerapannya karena dunia pendidikan bukanlah industri mencari keuntungan tetapi dunia pendidikan khususnya di Indonesia dikelola untuk mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia seperti yang diamanatkan UUD 1945
sticky post
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Sebenarnya kalau dari pandangan Gede H Cahyana itu membuat saya menolak rancangan peraturan baru tentang Jabatan Akademik Dosen, tapi apa sih yang membuat pemerintah merencanakan hal tersebut?
BalasHapussementara ini saya menolak sekali.. kami yang di Daerah terasa sangat keberatan
BalasHapus